23 March 2010

Yup! per 5 April ini saya sudah tidak lagi bekerja di perwakilan Harian Jogja Jakarta, saya memutuskan untuk resign, karena setelah dipikir-pikir ada hal yang akhir-akhir ini membuat saya sudah tidak lagi merasa nyaman. Saya cinta pekerjaan saya, lingkungan kantor saya, teman-teman, terutama sahabat dekat saya selama kurang lebih setahun ini (Indah, Anna, Edith). Tapi, ada satu hal yang paling krusial yang membuat saya sudah tidak tahan lagi untuk menjadi perwakilan satu-satunya di kota ini, yang pasti saya tidak bisa sebutkan disini :)
Yang jelas, selama kurang lebih satu tahun setengah menjadi perwakilan di kota ini, saya belajar banyak hal, yang Insya Allah bisa menjadi modal saya untuk terus melangkah maju.
10

10 March 2010

Postingan ini saya buat lebih karena ingin menjawab pertanyaan beberapa teman saya, khususnya teman di kampung halaman saya, yang seringkali bertanya kenapa mau hidup dan kerja di Jakarta. Jakarta yang katanya sumpek, macet, polusi, dsb, gak nyaman untuk ditinggalin.

Terkadang saya pun bingung harus bagaimana menjelaskannya, dan kadang saya pun sering berpikir iya yah kenapa saya mau hidup di kota yang berteman akrab sekali dengan macet ini. Toh, hidup di kampung halaman saya, Balikpapan, mungkin akan jauh lebih enak, tidak macet, kemana-mana dekat, tidak perlu lari-lari mengejar bis atau angkutan kota, tidak perlu menghirup polusi, dsb. Tapi sekali lagi, ini pilihan saya. Saya merasa lebih tertantang tinggal disini, saya seolah dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup itu ya begini, butuh perjuangan. Bukan berarti hidup di Balikpapan tidak ada perjuangannya ya, tetap ada, tapi mungkin takarannya yang beda.

Okey, saya tidak akan membanding-bandingkan dua kota yang memang sudah beda. Saat ini saya hanya ingin berbagi kenapa saya memilih Jakarta. Terus terang, saya belajar banyak dari kota ini, termasuk diantaranya adalah belajar mengendalikan emosi. Ya, hidup di Jakarta, rawan terkena penyakit 'emosi tingkat tinggi' ataupun 'emosi jiwa', bagaimana tidak, kalau sudah siang, diantara terik matahari dan polusi yang ditambah macet, semua orang tampaknya menjadi penguasa jalan. Motor, mobil , bis, metromini, busway, tumplek blek di jalan. Penuh sesak, bahkan pejalan kaki seolah tak dikasih ruang untuk berjalan, karena trotoarnya di pakai motor. Jalur busway tidak lagi menjadi hak pakai busway, karena kendaraan pribadi, bahkan meteromini pun ikut dalam jalur busway. Suara klakson, yang takhenti-hentinya berbunyi menambah kebisingan kota ini. Tapi disinilah saya belajar, belajar menahan emosi, belajar mengendalikan amarah, dan belajar toleransi.

Selain itu, saya juga belajar selalu mensyukuri hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang di kasih Tuhan ke saya. Karena kalau saya melihat ke bawah, saya yakin masih banyak saudara-saudara saya yang hidupnya masih kurang.

Hal lain yang membuat saya jatuh cinta pada kota ini adalah banyaknya orang-orang yang penuh inspirasi, sebut saja Pandji dan Yoris Sebastian, dua dari sekian banyak nama lainnya yang juga penuh inspirasi. Saya belajar banyak dari mereka. Selain itu karena saya pecinta film, maka dikota ini juga saya bisa dengan cepat meng-up date film-film terbaru. Nonton murah pun masih ada, datang saja ke TIM, hari biasa masih bisa nonton dengan 10ribu rupiah :)

Di kota ini juga saya bisa puas menikmati siaran radio yang berkualitas, Hard Rock atau Cosmopolitan yang biasanya menjadi alternatif pilihan saya. Tentunya masih banyak lagi radio lainnya yang bisa dijadikan pilihan, sesuai selera. FYI karena HardRock FM lah saya jadi tau bahwa Pandji bukan hanya sekedar presenter, dan penyiar, tapi lebih dari itu :) (upss maaf saya memang mengidolakan dia, karena pemikiran2nya yang inspiratif).

Ummm apalagi ya yang buat saya memilih Jakarta ? oh ya, karena saya ingin membuktikan kepada diri saya sendiri bahwa Jakarta tidak sejahat yang sering orang katakan kepada saya. Kurang lebihnya sih begitu, saya ingin membuktikan ke diri saya, bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama ada usaha dan doa, kalau orang lain mampu bertahan di kota sekeras ini, kenapa saya tidak. :)

Sebenarnya ada keinginan untuk kembali ke kampung halaman, dan ikut membangun. Tapi mungkin suatu saat, ketika saya sudah punya 'modal' yang cukup untuk ikut membangun kota saya tercinta, Balikpapan :)
2

02 March 2010


Pertama kali tahu film ini dari pembicaraan orang-orang di twitter. Dari awal sudah tertarik waktu baca review salah seorang blogger, tapi gak lantas nonton, karena setelah dicek hanya maen di Blitz, dan kebetulan saat itu lagi gak ada duit :)

Sebenernya agak telat juga sih, karena film ini kalo gak salah udah diputer sejak Januari, tapi baru bisa nonton awal maret, dengan perjuangan yang sungguh sangat berat *lebay* kejebak macet, plus kehabisan tiket nonton yang jam 8, dan tetep memutuskan nonton di jam 10 malam*nekat*

Saya tidak akan mereview panjang lebar tentang film ini karena sudah banyak temen2 blogger lainnya yang mereview. Dari film ini saya cuma teringat sebuah quote yang ditulis Pandji di albumnya yang kedua "KNOW YOUR PASSION AND GO FOR IT", yup kira2 begitulah pesan yang ingin disampaikan dari film ini, walaupun masih banyak pesan lainnya, karena memang film ini sarat akan pesan.

Film ini menurut saya berhasil memainkan emosi penonton, perpindahan cerita dari sedih ke seneng, ke sedih lagi lalu ke lucu, sangat baik sekali. Alur yang maju mundur pun tidak membuat penonton menjadi bingung, malah merupakan satu kesatuan dari inti cerita yang ingin disampaikan. Film ini juga menyentil sistem pendidikan yang ada di India (termasuk Indonesia mungkin). Untuk sebuah film yang bagus, tidak sayang ketika harus membuang uang 50ribu, dan bahkan saya ingin nonton lagi, dan berniat membeli DVD aslinya jika sudah keluar.

Oh ya karena ini film India, maka beberapa teman saya ketika saya ajak nonton selalu terucap kalimat ini : Hah nonton film India di Bioskop? gak salah tuh?

Hmmm kenapa sudah underestimate, padahal belum nonton, bahkan tau ceritanya saja tidak. Ini juga merupakan pelajaran buat saya, underestimate terhadap sesuatu yang bahkan kita tidak tahu jelas (hanya karena stereotype) sungguh sangat tidak adil. So, buat yang mau nonton, khususnya yang di Jakarta, masih main kok di Blitz Pacific Place, dan temukan banyak hal yang sangat inspiratif melalui film ini, sleain dari tari2an dan lagu khas India, tapi tidak banyak kok. :)
1

Author

BTemplates.com

Checkpagerank.net